Selasa, 20 September 2016

Umbi Gadung dan Resiko Keracunannya

Gadung merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang dimanfaatkan oleh beberapa masyarakat baik di Indonesia maupun negara lain sebagai makanan. Gadung juga dapat ditemukan di negara lain dan dikenal sebagai yam juga dapat dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional karena memiliki khasiat dalam pengobatan diantaranya adalah kusta, penyakit kulit, spasme perut serta dimanfaatkan dalam pembuatan alat kontrasepsi oral. Gadung juga mengandung racun yang dapat mematikan sehingga digunakan sebagai racun ikan, mata panah untuk memanah binatang, racun tikus, bahkan sangat beracun bagi manusia.

Racun yang terkandung dalam gadung dapat beresiko serius pada manusia bila tertelan atau dimakan secara langsung tanpa diolah. Berdasarkan kasus keracunan yang terjadi di Indonesia olahan keripik dari gadung mengakibatkan keracunan pada beberapa korban dengan gejala diantaranya pusing, mual, muntah, diare dan sesak napas akibat pengolahan gadung yang tidak tepat. Pengolahan gadung yang tepat untuk menghilangkan racun akan menghasilkan gadung yang aman dikonsumsi tanpa resiko keracunan. Gadung (Dioscorea spp.)




Gadung merupakan tanaman merambat yang tumbuh liar pada tanaman berbatang keras terutama pada daerah tropis dan cenderung lembab. Umbi gadung berwarna gading atau coklat muda yang diliputi rambut akar yang besar dan kaku dengan daging umbi berwarna putih gading atau kuning

Racun pada Gadung (Dioscorea spp.)

Dioscorin dan dihidroscorin Dioscorin adalah protein yang terdapat dalam umbi tanaman tropis dari keluarga Dioscorea spp. dan merupakan senyawa alkaloid yang memiliki rasa sangat pahit. Alkaloid dioscorine berwarna kuning kehijauan, bersifat basa kuat, larut dalam air, alkohol, aseton dan kloroform namun sukar larut dalam eter dan benzen. Kadar alkaloid dalam umbi gadung sekitar 0, 38 – 1,68 mg/100 g. Dihidrodioscorin adalah alkaloid turunan dihidro dari dioscorin. Dihidroscorin (dioscin) memiliki efek toksik yang sama dengan dioscorin namun dioscorin lebih toksik dibandingkan dihidroscorine. Dioscorine dan dihidroscorine bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik) dan bersifat konvulsan yang dapat menyebabkan paralisis dan kelumpuhan sistem saraf pusat (SSP) pada binatang. Mekanisme keracunan melalui kelumpuhan dan paralisis SSP ini mirip dengan mekanisme pikrotoksin (toksin dari tanaman yang bekerja mempengaruhi SSP). Menurut Oliver-Bever (1989), ekstrak dioscorine menyebabkan tekanan darah rendah dalam waktu lama dan kontraksi pada serabut otot halus di usus secara in vivo dan in vitro saat diberikan pada hewan. Dioscorine dan dihidroscorine mengakibatkan kejang pada mencit yang kemudian diikuti konvulsi tonik-klonik (kejang pada seluruh tubuh) dan pada lethal dose mengakibatkan kematian dalam 10 menit akibat kontraksi otot (Margaret F. Roberts dan Michael Wink, 1998 dan J.L.Broadbent and H. Schnieden, 1957). Hal ini menjelaskan mengapa umbi gadung banyak digunakan sebagai umpan racun pada ikan, berburu binatang, sebagai pestisida dan insektisida. Gejala keracunan - Keracunan sedang: Mual, muntah, diare, iritasi lokal.



Keracunan parah :

  1. Iritasi lokal dan emesis (mual) adalah gejala awal diikuti penurunan konduksi, dan disritmia atrial dan ventrikular serta henti jantung dapat terjadi (mirip efek glikosida jantung).
  2. Muntah, ataksia (gangguan koordinasi otot), henti napas, lemah otot, koma, kejang., dan dapat juga terdiagnosis sianohemoglobin (mirip keracunan glikosida sianogenik). Hipertermia (peningkatan suhu tubuh), kemerahan, membran mukosa kering, midriasis (pelebaran pupil mata), peningkatan detak jantung, penurunan motilitas saluran cerna, retensi urin, delirium (penurunan fokus, berpikir, dan disorientasi), halusinasi, dan depresi mental (mirip efek antikolinergik).
  3. Iritasi mukosa mulut dan saluran cerna, mual muntah, atau diare (iritasi saluran cerna)
  4. Mual, muntah, sekresi liur berlebih, dan kram perut adalah gejala awal yang muncul. Gejala kemudian diikuti dengan sakit kepala, kebingungan, peningkatan detak jantung, midriasis, demam dan ataksia. Stimulasi SSP termasuk kejang dapat diikuti dengan depresi SSP yang mengakibatkan gagal napas (mirip keracunan nikotin)

Asam Sianida
Gadung merupakan umbi yang mengandung asam sianida (HCN) dalam bentuk bebas maupun dalam bentuk terikat yang berupa glikosida sianogenik. Pada konsentrasi tinggi, sianida terutama dalam bentuk bebas sebagai HCN dapat mematikan. Dari umbi gadung segar bisa dihasilkan sekitar 469, 5 mg/kg sianida bebas. Asam sianida bersifat larut dalam air. Keracunan bisa terjadi jika seseorang mengkonsumsi gadung segar atau gadung yang diproses secara kurang tepat sebanyak sekitar 0,5 kg. Menurut J.D. Pritchard (2007) dosis letal sianida berada pada kisaran 50-90 mg/kg. HCN dapat dihasilkan dari reaksi hidrolisis yang dikatalis oleh enzim pada tanaman yang mengandung glikosida sianogenik. Pemecahan asam sianida dari glikosida sianogenik umumnya terjadi setelah gadung dikonsumsi yang kemudian mengalami hidrolisis oleh enzim glikosidase pada usus dan enzim glukosidase pada hati serta organ lainnya. Selain hidrolisis yang terjadi secara alami pada tanaman dan didalam tubuh setelah dikonsumsi, proses hidrolisis glikosida sianogenik menjadi asam sianida juga dapat terjadi selama proses pengolahan makanan. Jika kita mengkonsumsi gadung beresidu HCN rendah, akibat keracunan tidak dirasakan langsung tetapi dapat mengganggu ketersediaan iodium dalam tubuh atau dapat mengakibatkan timbulnya penyakit degeneratif. Sianida dalam tubuh secara normal dimetabolisme menjadi tiosianat, oleh enzim yang bergantung pada ketersediaan sulfur. Sumber sulfur diperoleh dari asam amino yang mengandung sulfur. Bila ketersediaan sulfur rendah, maka sianida diubah menjadi sianat yang menyebabkan penyakit neurodegeneratif pada manusia. Sianida yang diubah menjadi tiosianat merupakan produk metabolit yang kemudian dieliminasi oleh tubuh melalui urin namun tiosianat yang terbentuk akan menghambat penyerapan iodium.

Gejala keracunan
Keracunan sianida kadang dapat ditandai dengan bau kacang almond pahit, namun tanda ini bukan satu-satunya tanda dan banyak orang yang tidak dapat mendeteksi bau tersebut. Tanda keracunan sianida tidak selalu muncul segera, korban dapat mengalami kemerahan kulit, napas cepat, detak jantung cepat, sakit kepala dan pusing. Tanda keracunan sianida pada umbi gadung adalah:
  1. Keracunan ringan: mual, pusing, mengantuk.
  2. Keracunan sedang: kehilangan kesadaran, kejang, muntah, sianosis (kebiruan pada kulit)
  3. Keracunan parah: koma, pembesaran pupil, gangguan fungsi pernapasan



Penanganan keracunan gadung
  • Pertolongan pertama
Korban dengan gejala keracunan ringan dapat dirawat dirumah dengan pertolongan pertama yaitu diberikan banyak minum air putih untuk membantu mempercepat pengeluaran racun dari dalam tubuh secara alami. Namun bila keadaan tidak membaik atau bila jumlah tertelan besar dan terjadi gejala keracunan yang lebih parah segera bawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis.
  • Penatalaksanaan keracunan di rumah sakit
  1. Dapat dilakukan penatalaksanaan secara simptomatis dan suportif.
  2. Dekontaminasi Dapat dilakukan dengan arang aktif untuk menyerap alkaloid dioscorine dan sianida bila korban sadar, tidak muntah dan jalan napas baik. Bila tertelan dalam jumlah ekstrim dapat dilakukan irigasi usus. Dekontaminasi dapat dilakukan dengan pemberian karbon aktif pada anak-anak dengan dosis 1-2 g/kgBB dan pada dewasa 50-100 g secara oral.
  3. Antidot Tidak ada antidot khusus untuk keracunan gadung


0 komentar

Posting Komentar

Populer Post